nengnur

nengnur

Senin, 30 Maret 2015

IMPLEMENTASI IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR


MAKALAH


IMPLEMENTASI IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR








Disusun Oleh:








BANDUNG
2014














KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua,  karena berkat rahmat-Nya pula saya dapat menyelesaikan makalah kecil yang berjudul “Implementasi kepada Qada dan Qadar”.
Salawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda  Besar Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga dan kerabatnya sampai umat akhir zaman.
Dengan segala kerendahan hati, saya mencoba membuat suatu makalah yang sederhana ini, semoga dapat bermanfaat terutama bagi saya sendiri sebagai penyusun, maupun bagi semua pembaca makalah ini.
Penulis yakin, bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh untuk dikatakan sempurna, karena masih banyak kekurangan, baik dalam p
embahasan maupun dalam segi pemahaman dan penggunaan literatur yang sifatnya terbatas pada kemampuan.
Tujuan pembuatan makalah ini semata-mata hanya untuk memenuhi syarat mengikuti Uji Kompetensi di Kementerian Agama Propinsi Jawa Barat. Selain itu, diharapkan bermanfaat  untuk memperluas pengetahuan kita tentang iman kepada qada dan qodar di mana kita dapat memahami apa yang disebut qada dan qodar serta fungsinya,  juga berusaha mengimani dengan cara melaksanakan ibadah, seperti shalat lima waktu, puasa ramadhan, shalat sunah dan sebagainya.
Akhirnya,  penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, serta  mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan di masa  yang akan datang.

Bandung, April 2014




Penulis









DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR...........................................................................................   i
DAFTAR ISI.........................................................................................................   ii
BAB 1                   IMAN KEPADA QADA DAN QADAR
A.    Pengertian Iman Kepada Qada dan Qadar..................................
1. Pengertian Qada......................................................................
2. Pengertian qadar .....................................................................   
B.     Hubungan antara Qada dan Qadar..............................................
BAB 1 1     IKHTIAR DAN TAWAKKAL
A.    Pengertian Ikhtiar........................................................................  
B.     Pengertian Tawakal......................................................................
C.     Fungsi Iman kepada Qada dan Qadar.........................................











BAB I
IMAN KEPADA QADA DAN QADAR

A.   Pengertian Iman Kepada Qada dan Qadar
Iman kepada Allah termasuk juga meyakini bahwa Allah itu Maha Besar. Dan Allah Maha Besar meliputi kebesaran anugerah dan kasih sayang Nya kepada makhlukNya.
Keyakinan dan Kebesaran Allah membuat kita merasa rendah dan tidak merasa pantas menyombongkan diri. Karena yang pantas menyombongkan diri hanyalah Allah. Kesombongan akan menyebabkan kita tergelincir dalam jurang kehinaan.
Silih bergantinya antara siang dan malam, senang dan susah, keberhasilan dan kerugian, kaya dan miskin, ini menandakan adanya yang mengatur yaitu Kehendak Sang Pencipta (al-Khaliq) yang Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.
Dengan memperhatikan kepada peristiwa di atas, sudah barang tentu tidak terlepas dari qada dan qadar Allah SWT. yang terjadi kepada semua makhluk di alam semesta ini. Dengan segala kesempurnaan-Nya pula, Allah SWT. Berhak, berkehendak, menentukan ataupun memutuskan apa yang akan terjadi terhadap makhluk-Nya itu, dan semua itu sudah ada dalam tanzizi qadimnya Allah dalam lauhil mahfudz Nya. Segala sesuatu yang Allah berikan pada kita, kita tak bisa menolak dan memungkirinya, karna itu percaya kepada qada dan qadar adalah bukti iman kita kepada Allah dan takdir yang diberikan Allah.
Beriman kepada Qada dan qodar merupakan Rukun Iman yang ke enam yang harus di yakini dan di imani. Iman kepada qada dan qadar berarti meyakini dan mempercayai dengan sepenuh hati bahwa segala yang ada di dunia ini terjadi menurut kekuasaan dan kehendak Allah SWT, sesuai aturan ciptaan Nya[1]. Jika pemahaman terhadap rukun Islam yang ke enam tidak hati-hati, tidak dilandasi dengan iman, serta ilmu yang benar, hal tersebut dapat menjerumuskan manusia kepada sikap yang salah.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya:  “Iman itu ialah engkau percaya kepada Allah, para malaikatnya, kitab-kitabnya, para Rasulnya, hari akhirat, dan engkau percaya kepada qadar yang baiknya ataupun yang buruk”. (H.R. Muslim).
  1. Pengertian Qada
Qadha berasal dari bahasa Qadha-yaqdhi-qadha’an yang berarti memutuskan perkara dengan ucapan atau perbuatan.[2]
Qadha, menurut bahasa ialah: Hukum, ciptaan, kepastian dan penjelasan.
Asal maknanya adalah: Memutuskan, memisahkan, menentukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankannya dan menyelesaikannya. Maknanya adalah mencipta.[3]
Sedangkan menurut istilah, Qadha berarti putusan Allah tentang suatu perkara sejak zaman azali (zaman sebelum adanya alam ini).
Menurut Ulama Asy’ariah, yang di pelopori oleh Abu Hasan Al Asy’Ari (wafat di basrah Tahun 330 H), berpendapat bahwa qada ialah kehendak Allah SWT mengenai segala hal dan keadaan, kebaikan dan keburukan, yang sesuai dengan apa yang akan di ciptakan dan tidak akan berubah-ubah sampai terwujudnya kehendak tersebut. Qada bersifat Qadim (lebih dulu ada) sedangkan qadar bersipat hadis (baru).
Dalam Al-Quran banyak terdapat arti kata qada, Ada beberapa pengertian Qada dalam Al-Quran, diantaranya:
a.      Qada dalam arti Hukum atau Keputusan
Seperti dalam  Q.S. An-Nisa ayat 65:

Artinya:  “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Q.S. An-Nisa : 65).



b.      Qada dalam arti perintah

Artinya:  “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra :23).
c.       Qada dalam arti kehendak

Artinya:  “Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia.” (QS. Ali Imran : 47).


d. Qada dalam arti mewujudkan atau menjadikan
Artinya:  “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Fusillat : 12).
2.      Pengertian qadar
Menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Qadar menurut bahasa yaitu: Masdar (asal kata) dari qadara-yaqdaru-qadaran, dan adakalanya huruf daal-nya disukunkan (qa-dran).[4]
Qadar (yang diberi harakat pada huruf daal-nya) ialah: Qadha (kepastian) dan hukum, yaitu apa-apa yang telah ditentukan Allah Azza wa Jalla dari qadha (kepastian) dan hukum-hukum dalam berbagai perkara. Qadar itu sama dengan Qadr, semuanya bentuk jama’nya ialah Aqdaar.[5]
Qadar, menurut istilah ialah: Ketentuan Allah yang berlaku bagi semua makhluk, sesuai dengan ilmu Allah yang telah terdahulu dan dikehendaki oleh hikmah-Nya.[6] Atau Sesuatu yang telah diketahui sebelumnya dan telah tertuliskan, dari apa-apa yang terjadi hingga akhir masa. Dan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menentukan ketentuan para makhluk dan hal-hal yang akan terjadi, sebelum diciptakan sejak zaman azali. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengetahui, bahwa semua itu akan terjadi pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan pengetahuan-Nya dan dengan sifat-sifat ter-tentu pula, maka hal itu pun terjadi sesuai dengan apa yang telah ditentukan-Nya.[7] Atau Ilmu Allah, catatan
takdir)-Nya terhadap segala sesuatu, kehendak-Nya dan penciptaan-Nya terhadap segala sesuatu tersebut.
Menurut Ibnu Faris , Qadara: qaaf, daal dan raa’ adalah ash-sha-hiih yang menunjukkan akhir/puncak segala sesuatu. Maka qadar adalah: akhir/puncak segala sesuatu. Dinyatakan: Qadruhu kadza, yaitu akhirnya. Demikian pula al-qadar, dan qadartusy syai' aqdi-ruhu, dan aqduruhu dari at-taqdir.” [8]
Menurut ulama Asy’ariah qadar  adalah perwujudan kehendak Allah SWT terhadap semua mahkluknya dalam bentuk-bentuk dan batasan-batasan tertentu, baik mengenai zat-zatnya ataupun sipat-sipatnya. Menurut ulama Asy’ariah ini, bahwa hubungan qada dengan qadar merupakan satu kesatuan, karena qada merupakan kehendak Allah SWT, sedangkan qadar merupakan perwujudan dari kehendak itu.
Ada beberapa pengertian Qadar dalam Al-Quran, diantaranya:


a.      Qadar dalam arti kekuasaan atau kemampuan


Artinya:  “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S. Al-Baqarah : 236)
b.      Qadar dalam arti ketentuan atau kepastian


Artinya:  “lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan” (Q.s. Al Mursalat : 23).

c.       Qadar dalam arti ukuran

Artinya : “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (Q.S. Ar Ra’d :17).
dengan mengatur serta menentukan suatu menurut batas-batasnya

Artnya:  “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (Q.S. Fussilat : 10).
B.        HUBUNGAN ANTARA QADA DAN QADAR
TERHADAP MANUSIA
Iman kepada qada dan qadar dalam ungkapan sehari-hari lebih populer dengan sebutan iman kepada takdir. Iman kepada takdir berarti percaya bahwa segala apa yang terjadi di alam semesta ini, seperti adanya siang dan malam, adanya tanah yang subur dan yang tandus, hidup dan mati, rezeki dan jodoh seseorang merupakan kehendak dan ketentuan Allah SWT.[9] Takdir adalah Merenungkan dan memikirkan untuk menyamakan sesuatu.
Hukum beriman kepada takdir adalah fardu’ain. Seseorang yang mengaku islam, tetapi tidak beriman pada takdir dapat di anggap murtad (kafir). Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Tidaklah beriman seseoarng sebelum ia beriman kepada Qadar, qadar yang baik maupun yang buruk. Dan tidaklah ia beriman mengetahui sesungguhnya apa saja yang sudah dipastikan akan menimpanya, tentu tidak akan meleset darinya.Dan sesungguhnya apa saja yang dipastikan meleset dari dirinya pasti tidak akan menimpanya.” (H.R. At-Tirmidzi dari Jabir)
Hadits di atas menjelaskan bahwa pengakuan iman seseorang tidak diterima Allah apabila:
a.       Tidak beriman kepada Qada dan Qadar

b.      Belum meyakini bahwa segala sesuatu yang dikehendaki Allah (baik tertimpa maupun terhindar dari sesuatu) pasti itulah yang terjadi.
Ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang iman kepada takdir cukup banyak, antara lain :
Artinya : “Apabila Allah hendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya : “jadilah”, lalu jadilah dia.” (Q.S. Ali Imran, 3 : 47).
Artinya : “dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni) nya.” (Q.S. Fussilat, 41 : 10).
Artinya : “Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (Q.S. Al Ahzab, 33 : 38).
Selain itu, ada pula ulama yang berpendapat bahwa hubungan antara qada dan qadar merupakan dwi tunggal, karena dapat dikatakan bahwa pengertian qada sama dengan pengertian qadar.
Menurut ulama Asy’ariah, bahwa hubungan qada dengan qadar merupakan satu kesatuan, karena qada merupakan kehendak Allah SWT, sedangkan qadar merupakan perwujudan dari kehendak itu. Qada bersifat Qadim (lebih dulu ada) sedangkan qadar bersipat hadis (baru).
Apakah manusia itu musayyar (di paksakan oleh kekuatan Allah) atau mukhayyar (di beri kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri)? Tidak benar kalau di sana manusia itu mutlak musayyar, tetapi juga keliru jika di katakan manusia itu mutlak mukhayyar.
Hal –hal yang musayyar misalnya, setiap manusia yang hidup di bumi tubuhnya tidak bisa terbebas dari gaya tarik bumi, beberapa organ tubuh manusia seperti paru-paru, jantung, alat pernapasan, dan peredaran darah bekerja secara otomatis diluar kesadaran atau perasaan, bahkan ketika manusia tidur sekalipun.
Adapun hal yang mukhayyar misalnya, manusia mempunyai kebebasan untuk memilih dan berbuat sesuai dengan kodratnya sebagai mahluk. Allah SWT melalui Rasulnya telah memberikan petunjuk tentang jalan yang lurus, yang harus di tempuh manusia, kalau ia ingin masuk surga, dan jalan yang sesat yang harus dijauhi manusia jika ia tidak ingin masuk neraka. Allah SWT berfirman :
Artinya : “Dan kami telah menunjukan kepada dua jalan (jalan kebajikan dan jalan kejahatan).” (Q.S. Al-Balad, 90 : 10).
Bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan dalam berbuat. Hal itu tersirat dalam peristiwa berikut yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dan Khalifah Umar bin Khatab RA.
Qadha dan qadar adalah dua perkara yang beriringan, salah satunya tidak terpisah dari yang lainnya, karena salah satunya berkedudukan sebagai pondasi, yaitu qadar, dan yang lainnya berkedudukan sebagai bangunannya yaitu qadha. Barang siapa bermaksud untuk memisahkan di antara keduanya, maka dia bermaksud menghancurkan dan merobohkan bangunan tersebut.[10]
 Dikatakan pula sebaliknya, bahwa qadha' ialah ilmu Allah yang terdahulu, yang dengannya Allah menetapkan sejak azali. Sedangkan qadar ialah terjadinya penciptaan sesuai timbangan perkara yang telah ditentukan sebelumnya.[11]
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Mereka, yakni para ulama mengatakan, ‘Qadha' adalah ketentuan yang bersifat umum dan global sejak zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian dan perincian-perincian dari ketentuan tersebut”[12] Jika keduanya berhimpun, maka keduanya berbeda, di mana masing-masing dari keduanya mempunyai pengertian sebagaimana yang telah diutarakan dalam dua pendapat sebelumnya. Jika keduanya terpisah, maka keduanya berhimpun, di mana jika salah satu dari kedunya disebutkan sendirian, maka yang lainnya masuk di dalam (pengertian) nya.



BAB III
IKHTIAR DAN TAWAKAL

A.      Ikhtiar
Melakukan berbagai macam usaha (ikhtiar) yang halal baik secara zhahir (yaitu langkah-langkah yang ditempuh dengan bekerja) maupun bathin (langkah-langkah yang ditempuh dengan do’a) dengan maksud untuk mengubah nasib atau terhindar dari suatu bencana, merupakan perintah Allah dan Rasulnya. Manusi wajib berikhtiar, artinya manusia wajib untuk berusaha mewujudkan mimpi atau keinginannya sekuat tenaga. Usaha manusia juga menjadi faktor atau penyebab akan hasil yang ditetapkan oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman:
br&ur }§øŠ©9 Ç`»|¡SM~Ï9 žwÎ) $tB 4Ótëy
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya (Q.S.An-Najm: 39)
Rasulullah bersabda, “berusahalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya dan berusahalah untuk akheratmu seolah-olah kamu akan mati besok.” (H.R Ibnu Asakir).
Apakah setiap usaha (iktiar) manusia pasti berhasil? Tidak setiap usaha manusia berhasil. Kadang-kadang usaha tersebut mengalami kegagalan. Kegagalan dalam suatu usaha itu antara lain disebabkan karena keterbatasan – keterbatasan dan kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam diri manusia sendiri. Setiap muslim atau muslimat apabila gagal dalam suatu usaha hendaknya bersabar. Orang yang bersabar tidak akan gelisah dan berkeluh kesah, apabila berputus asa, sebagaimana firman Allah
Artinya:  “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (Q.S. Yusuf, 12 : 87)
Malah ia akan meningkatkan kegiatan usahanya, agar pada usaha selanjutnya tidak mengalami kegagalan.
Ada beberapa cara yang harus ditempuh agar suatu usaha berhasil,  di antaranya :
a.       Menguasai bidang usaha yang dilaksanakannya
b.      Berusaha dengan sungguh-sungguh
c.       Melandasi usahanya dengan niat ikhlas karena Allah
d.      Berdoa kepada Allah agar memperoleh pertolongannya.
Allah SWT berfirman sebagai berikut :
                                                                                                                   ۱ن

Artinya : …“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum (kecuali) bila mereka sendiri mengubah keadaan….” (Q.S. Ar-Ra’d, 13 : 11)


Dalam surah yang lain, Allah SWT berfirman yang artinya,



Artinya: “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,  dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).  Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu).” (Q.S. An-Najam, 53 : 39-42)
B.        Tawakkal
Tawakkal artinya berserah diri kepada Allah setelah berusaha. Setiap orang wajib berusaha untuk mewujudkan keinginan dan kehendaknya. Setelah usaha sebaik mungkin, barulah orang tersebut menyerahkan segala hasil dan keputusan kepada Allah. Usaha yang dilakukan oleh seseorang bukan hanya usaha lahiriah saja, tetapi seseorang wajib memanjatkan do’a kepada Allah, supaya apa yang telah diusahakan dapat dikabulkan oleh Allah.
Kemudian, apakah Islam mengajarkan manusia hanya berdo’a saja?
Tentu tidak, tawakkal yang benar adalah tawakal yang disertai dengan usaha dan do’a.
Islam melarang setiap pemeluknya untuk menganut fatalisme, yaitu paham atau ajaran yang mengharuskan berserah diri pada nasib dan tidak perlu berikhtiar, karena hidup manusia dikuasai dan ditentukan oleh nasib. Fatalisme adalah paham yang keliru, menyimpang dari ajaran tentang iman pada takdir, penghambat kemajuan dan penyebab kemunduran umat. Setiap muslim (muslimat) yang betul-betul beriman kepada takdir, selain wajib untuk berikhtiar, juga wajib bertawakkal kepada Allah SWT. Dalam hal ini Allah SWT berfirman sebagai berikut :                                                                                                              

Artinya : “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal.” (Q.S. Ali Imran, 3 : 159).
Selain itu, Allah SWT juga berfirman :

Artinya : “Katakanlah, sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah di tetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (Q.S. At-Taubah, 9 : 51).
Seorang muslim (muslimat) yang betul-betul bertawakkal pada Allah, tentu akan berusaha agar senantiasa bersikap dan berprilaku sesuai dengan kehendak Allah SWT. yaitu melaksanakan semua perintahnya dan meninggalkan semua apa yang dilarangnya. Muslim/muslimat yang selama hidupnya betul-betul bertawakkal kepada Allah SWT dan beriman kepada Qadha dan Qadar, tentu akan memperoleh banyak hikmah antara lain sebagai berikut :
·         Dicintai oleh Allah SWT. (Seperti dalam Q.S. Ali Imran, 3 : 159)
·         Dianugerahi rezeki yang cukup, Allah SWT berfirman :
Artinya : “Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkan (keperluannya)….” (Q.S. At-Talaq, 65 : 3).

·         Dianugerahi ketentraman hidup, tidak akan gelisah dan berkeluh kesah, apalagi putus asa. Hal ini disebabkan karena orang yang bertawakkal pada Allah akan bersyukur bila berada dalam situasi yang menyenangkan, dan berusaha sabar apabila dalam kesusahan.
Artinya : “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.S. Al-Hadid, 57 : 22-23).
·         Disenangi oleh orang banyak, karena budi pekertinya yang terpuji dan hidupnya yang bermanfaat.
·         Berjiwa Qana’ah. Orang yang Qana’ah tidak tamak atau rakus dalam melihat sesuatu. Dia merasa cukup dengan pemberian Allah. Seperti dalam Firman Allah (Q.S. At-Thalaq : 3)
·         Berani menghadapi persoalan hidup, karena yakin Allah member beban kepadanya sesuai dengan kadar kemampuannya. Firman Allah (Q.S. Al-Baqarah : 286)
·         Memiliki keberanian untuk berjuang di jalan Allah.
·         Memiliki jiwa yang tenang, tidak sombong, iri dan dengki.
·         Mampu mengendalikan dirinya disaat suka maupun duka.

C.       Fungsi Iman Kepada Qada dan Qadar
Allah SWT. mewajibkan umat manusia untuk beriman kepada qada dan qadar (takdir), yang tentu mengandung banyak fungsi (hikmah atau manfaat), yaitu antara lain :
1.      Memperkuat keyakinan bahwa Allah SWT, pencipta alam semesta adalah Tuhan Yang Maha Esa , Maha Kuasa, Maha Adil dan Maha Bijaksana. Keyakinan tersebut dapat mendorong umat manusia (umat islam) untuk melakukan usaha-usaha yang bijaksana, agar menjadi umat (bangsa) yang merdeka dan berdaulat. Kemudian kemerdekaan dan kedaulatan yang diperolehnya itu akan di manfaatkannya secara adil, demi terwujudnya kemakmuran kesejahteraan bersama di dunia dan di akhirat.
2.      Menumbuhkan kesadaran bahwa alam semesta dan segala isinya berjalan sesuai dengan ketentuan – ketentuan Allah SWT (sunatullah) atau hukum alam. Kesadaran yang demikian dapat mendorong umat manusia (umat islam) untuk menjadi ilmuan-ilmuan yang canggih di bidangnya masing-masing, kemudian mengadakan usaha-usaha penelitian terhadap setiap mahluk Allah seperti manusia, hewan, tumbuhan, air, udara, barang tambang, dan gas. Sedangkan hasil – hasil penelitiannya dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia ke arah yang lebih tinggi.
Artinya:  “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Almujadalah, 58 : 11).
3.      Meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Iman kepada takdir dapat menumbuhkan kesadaran bahwa segala yang ada dan terjadi di alam semesta ini seperti daratan, lautan, angkasa raya, tanah yang subur, tanah yang tandus, dan berbagai bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, serta banjir semata-mata karena kehendak, kekuasaan dan keadilan Allah SWT. Selain itu, kemahakuasaan dan keadilan Allah SWT akan ditampakkan kepada umat manusia, takkala umat manusia sudah meninggal dunia dan hidup di alam kubur dan alam akhirat. Manusia yang ketika di dunianya bertakwa, tentu akan memperoleh nikmat kubur dan akan dimasukan ke surga, sedangkan manusia yang ketika di dunianya durhaka kepada Allah dan banyak berbuat dosa, tentu akan memperoleh siksa kubur dan dicampakan ke dalam neraka jahanam.



 


Artinya:  “Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”  (Q.S. Ali Imran, 3 : 131 – 133).
4.      Menumbuhkan sikap/perilaku terpuji, serta menghilangkan sikap serta perilaku tercela. Orang yang betul-betul beriman kepada takdir (umat islam yang bertakwa ) tentu akan memiliki sikap dan perilaku terpuji seperti sabar, tawakal, qanaah, dan optimis dalam hidup. Juga akan mampu memelihara diri dari sikap dan perilaku tercela, seperti: sombong, iri hati, dengki, buruk sangka, dan pesimis dalam hidup. Mengapa demikian? Mari kita renungkan jawabannya!

Artinya: “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar”.
Artinya: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.
Artinya: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”,
\
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”  (Q.S. Al-Hadid, 57 : 21-24).
5.      Mendorong umat manusia (umat islam) untuk berusaha agar kualitas hidupnya meningkat, sehingga hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. Umat manusia (umat islam) jika betul-betul beriman kepada takdir, tentu dalam hidupnya di dunia yang sebenar ini tidak akan berpangku tangan. Mereka akan berusaha dan bekerja dengan sungguh-sungguh di bidangnya masing-masing, sesuai dengan kemampuannya yang dimiliki dan telah diusahakan secara maksimal, sehingga menjadi manusia yang paling bermanfaat. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “sebaik-baiknya manusia ialah yang lebih bermanfaat kepada manusia.” (H.R. At-Tabrani).






DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syaikhu
1988          Penerbit Pustaka Ibntu Katsir
Nn
1998          Cempaka putih
Fat-hul Baari
Ibnu Qutaibah
Ta-wiil Musykilil Qur-aan, Ibnu Qutaibah, Lisaanul ‘Arabal-Qaamuus
Ibnu Atsir
An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits
Muhammad TH
1984         Kedudukaan Ilmu dalam Islam. Al-Ikhlas, Surabaya.
M. Quraisy Shihab
1998         Tafsir al-Mishbah, pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta.
Nu’man bin Ibrahim az-Zarnuji
1990         Metode Belajar efektif untuk menjadi Kyai-Ulama (terj). CV. Bahagia, Pekalongan.
Oemar Bakrie
1990    Akhlak Muslim. Angkasa, Bandung.
Yusuf Qardawi
1998         Qur’an berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. (terj) Gema Insani press, Jakarta.